Bertamasya Naik Tuk-tuk Si Manot - www.inilah.com

Written By Unknown on Minggu, 15 April 2012 | 19.51


 Ayuthaya – Ketika tiba di Ayuthaya, ibu kota Siam kuno, mata langsung tertegun melihat deretan kendaraan roda tiga bikinan Jepang keluaran 1960-an. Becak mobil yang disingkat jadi bemo itu, ternyata masih beroperasi di Ayuthaya, kota pelancongan dengan ratusan candi di Thailand.
Bemo-bemo Ayuthaya dibikin lebih panjang daripada yang ada di Tanjung Priok atau Bendungan Hilir-Tanah Abang, Jakarta. Catnya pun lebih berani tampil beda dengan dihiasi gambar yang segar di mata. Moncongnya dibuat lebih bulat. Kain terpal pengusir panas dan hujan, sudah diganti dengan atap besi. Kesannya, bemo-bemo Thailand terawat, kukuh, ada sentuhan yang lebih futuristik pada bentuk bodinya dan bersih.
Bemo yang masuk ke Indonesia menjelang pelaksanaan Asian Games 1962, ternyata juga hampir bersamaan masuk ke Thailand. Bemo menyandang mesin satu silinder 800 cc, mirip kepunyaan Daihatsu Midget yang populer di Jepang pada 1950-an.
Kendaraan ini memiliki mesin dua tak dan suaranya khas cukup nyaring dan cempreng. Dalam keadaan langsam bunyi mesinnya tuk, tuk, tuk, tuk…. Karena itulah, bemo Thailand ini lalu disebut Tuk-tuk. Honomatope asli.
Tuk-tuk di kota-kota lain di Thailand mungkin saja berbeda. Di Provinsi Songkhla, Thailand Selatan, tuk-tuk adalah pick-up Suzuki atau Daihatsu keluaran 1980-an yang beroda empat. Kendaraan ini juga bersolek meriah untuk menarik pelancong. Di Hat Yai, kota ramai di Songkhla, ratusan Tuk-tuk beroda empat ini pergi ke sana ke mari.
Di Kota Bangkok, bisa ditemui tuk-tuk mirip Bajaj tapi lebih gambot dan juga suka bersolek menor. Dengan tiga roda pendukung, peredam kejut yang tangguh, dan knalpot mobil yang bulat, membuat Tuk-tuk Bangkok jadi provokatif penampilannya. Tuk-tuk ini dilengkapi dengan baterai 12 volt seperti yang dipakai mobil-mobil pick up kecil sejenis Suzuki atau Daihatsu.
Salah seorang sopir Tuk-tuk bernama Manot, 41 tahun. Pria berayah orang Thailand Selatan dan beribu Bangkok itu bisa membaca kalimah syahadat dan Alfatihah. Ia
seorang muslim dan ramah.
Manot menyodorkan tarif Tuk-tuknya seharga 200 baht per jam, sesuai tarif pemerintah, katanya. Wisatawan masih bisa melakuakn tawar menawar misalnya tawaran 500 baht untuk empat jam. “Okey,okey you are the winner, “ ucap Manot ini sambil senyam-senyum, saat mendapat tawaran dari INILAH.COM, yang berkunjung ke negara Gajah Putih itu, pekan lalu.
Dengan tuk-tuk si Manot ini, kami bisa berkeliling Ayuthaya bersama. Bisa menyaksikan candi-candi Buddha yang terbuat dari batu bata seperti masa Majapahit di Jawa Timur atau Bali.
Pengendara tuk-tuk seperti Manot bisa memberi panduan berwisata ke kompleks percandian di Ayuthaya. Dia pun bisa menunjukkan tempat makan muslim yang enak dan murah. Bertiga kami dibawahnya masuk ke warung tenda cukup besar dengan tanda halal sehingg bisa ditemui menu sop kambing, nasi kambing seperti kebuli, nasi dan sejenis rendang sapi, serta pad thai (mie Thailand) serta teh-tarik Thailand. Usai makan, ternyata kami hanya menghabiskan 390 baht, kurang dari Rp120 ribu.
Sebelum city-tour selesai, Manot berhenti di sebuah pompa bensin milik Shell. Di mesin dispenser terlihat, harga bensin (tanpa timbal) dijual 40,87 baht se liter. Harga ini sudah dekat dengan Rp 12.500 seliter. “Bensin makin mahal,” ujarnya sembari tersenyum dan tetap bersemangat, tidak cengeng. Itulah yang membuat Manot selalu disukai pelanggannya. [mdr]

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik